Pages

Minggu, 04 November 2012

Dilema Menjadi Guru, antara Profesi atau Panggilan Nurani


Di dalam dunia pendidikan tak pernah terlepas dari sosok yang bernama guru. Orang Jawa menyebut bahwa guru berasal dari kata ‘digugu lan ditiru’, artinya bahwa seorang guru harus bisa dipercaya dan ditiru setiap hal yang positif, baik dari segi keilmuan yang dikuasainya hingga sikap dan etikanya setiap di sekolah. Mengajar, mendidik, membimbing, melatih, mengarahkan, menilai setiap anak didiknya ialah tugas seorang guru. Namun, tak jarang guru di jaman sekarang hanya dijadikan sebagai jenis profesi, jenis pekerjaan yang menjadi perantara memperoleh uang sehingga fungsi dan peranan guru yang mulia kini telah mulai terabaikan. Apa yang akan terjadi bila para pendidik tunas bangsa hanya menjadikan guru sebagai alat pencari penghidupan, bukan sebagai media untuk berbagi ilmu pengetahuan dan pengalaman hidup? Masa depan bangsa tergantung pada anak–anak masa sekarang. Jika anak–anak dididik dengan baik maka masa depan bangsa akan menjadi baik pula. Anak-anak akan mampu membawa bangsa ini menjadi maju dan berkembang.
Faktanya banyak faktor yang membuat seseorang mau menjadi guru.Ada yang menjadikan guru sebagai profesi, namun banyak juga yang menjadi guru karena panggilan nurani. Seseorang yang benar-benar ingin memberikan ilmunya kepada anak didiknya sebagai calon penerus bangsa secara tulus. Sering terjadi di sekitar kita, seseorang yang sudah bekerja mapan dalam suatu instansi mengajukan permohonan alih tugas fungsional menjadi seorang guru. Pada mulanya banyak yang menentang, namun tak bisa dipungkiri bahwa menjadi guru karena panggilan nurani jauh lebih baik daripada sekedar menjadikan guru sebagai profesi.
Sosok manusia yang mengabdikan diri berdasarkan panggilan jiwa maupun hati nurani bukan karena tuntutan material belaka, itulah profil guru ideal yang sesungguhnya.Menjadi guru berdasarkan tuntutan pekerjaan adalah suatu perbuatan yang mudah, namun menjadi guru berdasarkan panggilan jiwa tidaklah mudah. Guru lebih banyak dituntut sebagai suatu pengabdian kepada anak didik daripada karena tuntutan pekerjaan dan materi.
Oleh karena itu, wajarlah bila dikatakan guru adalah cerminan pribadi yang mulia karena figur guru dengan segala kemuliaannya yang mengabdikan diri berdasarkan panggilan jiwa, bukan karena pekerjaan sampingan. Guru tidak hanya sebagai suatu profesi, tetapi juga sebagai suatu tugas kemanusiaan dan kemasyarakatan. Kepribadian guru akan tercermin dalam sikap dan perbuatannya dalam membina anak didik. Dengan keteladanannya, guru harus memiliki kepribadian yang dapat dijadikan profil dan idola. Seluruh kehidupannya adalah figur yang tak lapuk dimakan usia. Itulah kesan terhadap guru sebagai sosok yang ideal.
Guru ideal adalah sosok guru yang menyisihkan waktunya demi kepentingan anak didik, membimbing, mendengarkan keluhan, menasihati, membantu kesulitan anak didik dalam segala hal yang bias menghambat aktivitas belajarnya. Guru juga berbicara dan bersenda gurau dengan anak–anak di sekolah. Jadi, bukan hanya duduk di kantor dengan sesama guru, tidak membuat jarak dengan anak didik, dan juga bukan merendahkan harga diri anak didik.
Kemuliaan guru tercermin pada pengabdiannya kepada anak didik baik di sekolah maupun di luar sekolah. Selain itu, juga tercermin dalam kehidupan sehari–hari, bukan hanya sekedar simbol atau semboyan yang terpampang di kantor guru. Pendidikan dilakukan tidak semat –mata dengan perkataan, tetapi diaplikasikan dengan sikap, tingkah laku, dan perbuatan.
Guru tidak pernah memusuhi muridnya meskipun suatu ketika ada anak didiknya yang berbuat kurang sopan. Bahkan, dengan sabar dan bijaksana guru memberikan nasihat cara bertingkah laku yang sopan pada orang lain. Guru seperti itulah yang diharapkan untuk mengabdikan diri di dunia pendidikan bukan guru yang hanya menuangkan ilmu pengetahuan ke dalam otak anak didik, sementara jiwa dan wataknya tidak dibina.
Di sinilah tugas guru tidak hanya sebagai suatu profesi, tetapi juga sebagai suatu tugas kemanusiaan dan kemasyarakatan. Banyak yang menganggap bahwa untuk menjadi seorang guru hanyalah kompetensi saja yang dibutuhkan. Ternyata lebih dari itu terdapat syarat mutlak dari profesionalisme guru yang dibutuhkan, yaitu panggilan jiwa yang merupakan suatu bentuk keikhlasan untuk mentransfer pengetahuan kepada anak didiknya. Panggilan jiwa ini seharusnya tumbuh karena kesadaran diri untuk memperbaiki kondisi yang kurang maksimal.
Jika menjadi guru merupakan panggilan jiwa maka profesi guru akan dihayati dengan sedemikian rupa, dinikmatidengan segenap semangat pengabdian dan prestasi, serta sanggup mengalahkan godaan-godaan profesi lain yang secara materi lebih menjanjikan. Seorang guru harus bersedia berpikir bagaimana seharusnya system pendidikan dibangun dan dikembangkan. Kalau diperlukan, siap mengabdikan dirinya sebagai guru di daerah terpencil dan mampu berprestasi, baik secara akademis maupun materi.
Menjadi guru sama dengan mengabdiakn segenap jiwa raga dan kemampuan terbaik kita untuk menciptakan generasi masa depan yang jauh lebih bermartabat. Menjadi guru berarti siap menjadi teladan, tidak harus selalu dan tidak semata-mata soal kepintaran belaka melainkan yang terpenting menjalankan tugas sebagai suri teladan yang baik di mata anak didik dan masyarakat.
Masalah kesejahteraan adalah nomor kesekian dari daftar urutan pertimbangan menjadi guru. Jika prestasi sudah ditorehkan, jika program perbaikan moral, dan peningkatan kecerdasaan peserta didik telah diraih, dengan sendirinya kesejahteraan atau imbalan materi menjadi sesuatu yang sangat wajar diberikan. Namun, sekali lagi dalam konteks pengabdian kemanusiaan itu bukanlah target dan tujuan utama.
Di sini perlu dibandingkan bagaimana kriteria guru yang menganggap sebagai profesi dan guru yang karena panggilan jiwanya.

Perbedaan guru sebagai profesi dan panggilan jiwa


1). Guru sebagai profesi
a. Mengajar lebih cenderung menjadikan anak pandai tentang ilmu pengetahuan saja.
b. Hanya berusaha menghabiskan kurikulum atau silabus yang telah ditetapkan tanpa mau tahu apakah anak didik sudah mampu menyerap apa yang diajarkan.
c. Lebih banyak memikirkan honor dibandingkan hasil belajar anak.
d. Biasanya memilih-milih anak didik. Kelas yang anak-anaknya ramai atau lambat dalam menerima materi akan dijauhi.
e. Tidak sabar, apalagi menghadapi anak didik yang lambat.
f. Mengajar menjadi suatu beban.

2). Guru sebagai panggilan nurani
a. Selain mengajarkan ilmu pengetahuan juga membangun dan membina jiwa dan watak anak didik.
b. Berusaha menghabiskan kurikulum yang ada namun tetap memperhatikan kemampuan daya serap anak didik.
c. Honor menjadi urusan kesekian yang terpenting ialah prestasi anak baik.
d. Menyampaikan ilmu pengetahuan kepada siapa saja dan di mana saja. Tidak peduli dengan bagaimana keadaan kelas dan anaknya karena sudah menjadi tugas guru untuk mengubah anak didik menjadi lebih baik.
e. Akan sabar mengajar anak didik sampai anak didik benar-benar bisa.
f. Mengajar menjadi suatu kesenangan bukan sebagai beban.

Demikian seharusnya, menjadi guru merupakan panggilan nurani yang dipilih secara sadar. Menjadi guru harusnya merupakan cerminan idealisme kita dan keberpihakkan kita terhadap kemanusiaan. Menjadi guru berarti mengabdikan segenap jiwa raga dan kemampuan terbaik kita untuk menciptakan generasi Indonesia yang lebih baik. (yan/med)

0 komentar:

Posting Komentar